Nama saya Azzimar Rifqy Fikaruddin atau keluarga dan teman sering memanggil Rifqy. Saya lahir di Surabaya 21 Juli 1994 dari pasangan yang berprofesi sebagai guru swasta tingkat SMA/SMK di Surabaya. Saya anak kedua dari dua bersaudara. Saat ini saya bekerja di perbankan syariah terbesar di Indonesia.
Kedua orang tua saya memiliki prinsip bahwa anak keturunannya harus memiliki pendidikan minimal sarjana. Oleh sebab itu, saya dan kakak saya dituntut untuk bisa masuk perguruan tinggi dan lulus sebagai sarjana meskipun prinsip kami yang penting bisa berkarya tanpa harus menyandang gelar sarjana. Dengan berbagai upaya kedua orang tua saya menyekolahkan kami hingga sarjana. Ya dengan berbagai upaya karena kita semua tahu bahwa berapa besar gaji seorang guru apalagi guru sekolah swasta yang bukan merupakan sekolah favorit.
Pendidikan S1 saya mengambil program studi Manajemen Sumberdaya Perairan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang. Awalnya saya ingin mengambil kuliah di Fakultas Hukum karena saya ingin menjadi pengacara, jaksa, atau hakim. Namun kedua orang tua saya tidak merestui. Prinsip mereka bahwa bekerja di bidang hukum lebih banyak mudhorot dari pada manfaatnya. Akhirnya saya memilih program studi tersebut hanya karena saya senang bermain air saat kecil.
Masuk kuliah ternyata tidak sesuai ekspektasi saya. Saya memliki pemikiran program studi yang saya ambil akan mempelajari ilmu-ilmu terkait perairan. Memang kenyataan saya mempelajari ilmu-ilmu tersebut namun lebih banyak mempelajari terkait dengan perikanan dan lingkungannya. Belum lagi tugas dan laporan praktikum yang seabrek sehingga membuat semangat kuliah saya setahun pertama sangat drop. Hingga orang tua saya menawari apakah mau menyoba SBMPTN pada tahun berikutnya untuk masuk ke Fakultas Hukum.
Saya berpikir berkali-kali penawaran tersebut. Saya coba bertanya dengan teman-teman yang memang sudah memutuskan untuk berhenti dan alih jurusan. Alhasil saya menemukan prinsip yang mudah-mudahan masih bisa saya pegang hingga saat ini. Saya memutuskan tetap lanjut karena bagi saya terlanjur basah sekalian saya mandi. Dan, tepat bulan Agustus 2015 saya mendapat gelar sarjana, gelar yang "ditargetkan" kedua orang tua saya.
21 Agustus 2015 saya melakukan prosesi yudisium di mana saya sudah berhak menyandang gelar Sarjana Perikanan. Fakultas menjadwalkan saya untuk melakukan wisuda pada bulan September 2015. Segala persiapan sudah saya lakukan, mulai dari pemberkasan, penulisan nama di ijazah, hingga toga yang akan saya kenakan di wisuda nanti. Namun, rencana manusia tidak seindah rencana Tuhan. Momen yang harusnya menjadi momen istimewa saya berdiri di podium wisuda disaksikan kedua orang tua sirna. Ya, H-1 saya wisuda ayah saya terkena serangan stroke sehingga kedua orang tua saya tidak dapat menghadiri prosesi wisuda saya. Saya pun hingga hari ini belum memiliki foto wisuda bersama keluarga.
Pasca wisuda sarjana, saya masih penasaran untuk melanjutkan studi S2 hanya karena ingin punya foto wisuda dengan kedua orang tua. Karena kondisi ekonomi keluarga saat itu, orang tua saya menyarankan untuk menjual satu-satunya mobil yang dimiliki oleh keluarga saya untuk biaya pendidikan S2 saya. Namun, saat itu saya menolak karena saya berpikir kendaraan tersebut masih sangat dibutuhkan untuk mengantar ayah saya berobat.
Beberapa bulan setelah wisuda, saya memutuskan masuk ke dunia kerja agar dapat mandiri secara ekonomi. Pekerjaan pertama saya adalah sebagai seorang sales kartu kredit di salah satu perbankan nasional. Namun, sebagaimana kebanyakan fresh graduate saya masih kurang puas dengan apa yang sudah saya peroleh. Dengan berbagai alasan dan pertimbangan saya memutuskan keluar dari pekerjaan tersebut.
Sebulan berselang, saya diterima di salah satu perusahaan multinasional di bidang ekspor impor produk perikanan yang memiliki kantor pusat di Filipina. Saya diterima sebagai staff Quality Control di kantor Surabaya. Saya berpikir ini merupakan bidang yang akan cocok dengan saya karena tidak dibebani target penjualan, harus bertemu orang tiap saat, dan bekerja di hari libur. Namun ternyata bidang tersebut merupakan bidang yang bagi saya sangat membosankan. Hingga akhirnya saya memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan terebut.
Setelah beberapa bulan menyoba menyari pekerjaan lain, akhirnya saya diterima di salah satu perusahaan perbankan syariah milik BUMN. Pada kali ini saya menyoba untuk bertahan agar dapat fokus dengan tujuan awal dan juga masih memendam keinginan untuk bisa melanjutkan pendidikan ke Strata 2 agar bisa punya foto wisuda bersama kedua orang tua.
Tahun demi tahun saya lewati sebagai seorang bankers di perusahaan ini. Hingga pada 2018, Tuhan mempertemukan saya dengan istri yang kelak sangat mendorong cita-cita saya. Tepatnya 17 Agustus 2018 kami melangsungkan pernikahan. Pernikahan yang sederhana namun mewah menurut saya. Hingga pada bulan kedua kami menikah, Tuhan memberi amanah yang tumbuh dan berkembang di dalam rahim istri saya dan kelak bisa menjadi penuntun kami menuju surga. Bekerja dengan berbagau posisi di perbankan tentu menyita waktu dan pikiran. Apalagi saat itu saya memiliki keluarga dan amanah dalam rahim istri saya. Namun, hasrat untuk melanjutkan studi S2 masih terus tumbuh. Akan tetapi penghasilan yang diharapkan mampu membiayai studi S2 telah beralih fungsi dengan memberikan nafkah lahiriyah kepada keluarga.
Mei 2019, tepatnya H-1 bulan suci ramadhan, Tuhan memiliki rencana yang lebih indah lagi bagi saya pribadi. Ternyata Tuhan tidak pernah memberi saya kesempatan untuk dapat berfoto wisuda bersama kedua orang tua. Ya, tepat H-1 bulan suci tersebut, Tuhan memanggil ayah saya untuk meninggalkan kami selamanya. Saya tidak bisa berkata apapun saat itu selain rasa marah dan menyesal karena 2 hal. Pertama tentu karena saya tidak akan bisa berfoto bersama kedua orang tua saya saat wisuda dan juga tidak bisa mempertemukan anak saya kelak dengan kakeknya.
Sepeninggal ayah saya, kami berbincang bersama dengan ibu saya. Ibu saya mengatakan bahwa mengapa kami dituntut untuk bisa memiliki pendidikan minimal S1. Ternyata ayah saya memiliki keinginan bahwa salah satu dari anaknya ada yang meneruskan karir sebagai seorang pendidik. Sesaat itu, keinginan yang dulu melanjutkan studi hanya untuk dapat foto wisuda bersama kedua orang tua yang pasti tidak akan bisa bertambah menjadi ingin bisa menjadi seorang pengajar. Menurut saya, yang memiliki latar belakang seorang sarjana perikanan dan bekerja sebagai seorang banker, maka yang mungkin bisa saya kejar adalah menjadi seorang guru di SMK jurusan perikanan atau menjadi seorang dosen. Oleh karena itu, tekad saya untuk mengambil studi S2 semakin bulat agar bisa menjadi seorang dosen.
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun berlalu, keinginan S2 saya hanya sebagai keinginan yang belum bisa saya realisasikan. Diskusi dengan beberapa rekan kerja yang sudah melanjutkan studi S2 dan bahkan S3 juga belum bisa membuat saya memiliki kesempatan melanjutkan studi S2. Ada saja alasan yang muncul, mulai dari waktu, tenaga, dan tentu biaya, bahkan muncul pertanyaan mau jadi apa saya kalau mengambil program yang linier namun saya gagal menjadi dosen.
Diskusi dengan teman-teman sering saya lakukan terkait dengan peluan studi lanjutan. Sampai pada suatu saat salah seorang pimpinan mengatakan bahwa menempuh pendidikan S2 hingga S3 tidak melulu nanti mau jadi apa. "Misal mau jadi dosen ya jadi saja toh kita punya gelar pendidikan yang sesuai (S2/S3) dan keunggulan kita adalah kita expert di bidang bisnis perbankan yang mungkin bahkan dosen kewirausaan saja belum tentu punya pengalaman teknis seperti kita" kata pimpinan saya saat itu. Saat itu, saya berpikir benar apa yang beliau katakan. Kemudian saya nyeletuk saja bahwa tahun depan saya ambil S2 tanpa berpikiri bagaimana saya kuliah dan biaya berasal dari mana. FYI, saat itu saya bertugas di Kabupaten Jombang.
November 2022, saya dipindah tugaskan di salah satu cabang di Surabaya. Karena sebelumnya saya berpengalaman di Surabaya, saya sangat enjoy menjalani pekerjaan saya. Hingga suatu saat Tuhan mulai mengabulkan satu per satu apa yang saya ucapkan pada dahulu kala. Hingga hari ini apabila saya memikirkan hal tersebut rasanya tidak mungkin ini semua terjadi.
Semua bermula ketika saya mengunjungi salah seorang teman lama saya yang bekerja di UHT. Karena lama tidak berjumpa, ketika saya pindah ke Surabaya, hari kedua saya pindah langsung saya temui di kampus UHT. Kami mengobrol cukup panjang hingga menjurus kira-kira apakah ada bisnis yang bisa saya garap di UHT.
Singkat cerita, hasil pertemuan pertama dengan saya membawa saya bersama tim dapat kesempatan beraudiensi dengan jajaran Rektorat untuk membahas kerjasama dalam bidang perbankan dan pendidikan. Kami juga mencoba untuk jemput bola door to door mengenalkan produk-produk kami. Hingga Tuhan membawa langkah kaki saya menuju fakultas terujung di kampus UHT, yaitu Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan.
Hari itu, kami spontan ingin bertemu dengan dekan FTIK tanpa kenal terlebih dahulu nama beliau siapa, dapat ditemui kapan, dan bahkan tidak membawa apa-apa. Saya duduk di ruang tunggu tamu di dalam fakultas. Di sana terpampang tulisan Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah yang besar. Di bawah tulisan tersebut terdapat jurusan-jurusan yang terdapat di FTIK. Salah satu yang menarik mata saya adalah jurusan Ilmu Perikanan.
Setelah menunggu beberapa saat, kami dapat bertemu dengan dekan FTIK UHT. Saya memperkenalkan diri dan ucapan pertama saya adalah saya merasa kembali ke kampus karena di fakultas ini ada Ilmu Perikanan. Kemudian beliau bertanya jurusan apa dulu saya kuliah S1 dan di mana. Saya jelaskan bahwa saya sarjana perikanan dari UB Malang. Ternyata kuasa Tuhan, beliau juga merupakan alumnus yang sama dengan saya. Kemudian saya bertanya apakah di sini bisa mengakomodasi seperti saya untuk bisa studi S2. Beliau menjawab sangat bisa karena program studi S2 FTIK UHT menyakup semua jurusan S1 yang ada di FTIK UHT sehingga kalau dari S1 perikanan bisa mengikuti kurikulum yang ada di S2 FTIK UHT. Kemudian tentu saya menanyakan bagaimana cara perkuliahan dan biayanya. Beliau menjelaskan bahwa perkuliahan dapat dilaksanakan via zoom dan untuk biaya menurut saya sangat murah.
Saya berpikir untuk mengambil kesempatan tersebut namun masih ada ganjalan dengan alasan-alasan saya seperti dahulu. Sesampai di rumah saya sampaikan kepada istri terkait dengan penawaran S2 dengan harapan istri akan menguatkan alasan penolakan saya. Namun, kuasa Tuhan, istri saya sangat mendukung saya untuk melanjutkan studi S2.
Singkat cerita, akhirnya saya bergabung sebagai mahasiswa S2 FTIK UHT saat ini. Saat ini saya sedang menjalani semester kedua studi saya. Biaya dari mana? Seperti yang ditawarkan orang tua saya dahulu, saya jual mobil pribadi saya untuk membiayai biaya kuliah saya dan memaksa tubuh saya untuk dapat menjalankan pendidikan dan pekerjaan beriringan seiring sejalan. Mudah-mudahan semua pengorbanan keluarga saya demi studi S2 saya ini mendapat rahmat dan barokah-Nya. Karena Rektor UHT pernah berkata pada saya bahwa uang yang kita gunakan untuk menuntut pendidikan tidak akan sia-sia.